Minggu, 14 Oktober 2012

"Masihkah Mencinta"


Masihkah sayangmu ada di hati seperti rasa sayangku yang masih tertanam di sanubari

Masihkah selembar cinta ada di dadamu seperti permadani cintaku yang masih tergelar di ruang kalbu


Masih adakah hembusan rindumu seperti sayap rindu yang masih mengepak di langit jiwakuMasihkah kau memikirkanku seperti pikiranku yang masih peduli padamu


Masihkah semua itu ada ?

KTI



KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG GIZI DAN POLA MAKAN ANAK TERHADAP STATUS GIZI ANAK AUTIS DI YAYASAN
MUTIARA BUNDA, SD N 3, DAN RSJKO SOEPRAPTO
KOTA BENGKULU
TAHUN 2011



                                     


DISUSUN OLEH :
NUR OKTAFIYANTI
P0 51 30008 018




KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
JURUSAN GIZI
2011











BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
      Autisme adalah gangguan perkembangan Neurobiologis berat yang terjadi pada anak dalam usia kurang dari 3 tahun dan akan berlanjut jika tidak dilakukan intervensi. Gangguan perkembangan tersebut bervariasi bisa sedang sampai dengan berat, misalnya gangguan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berprilaku aneh, dan perubahan sensitivitas indra (Soetardjo, 2007).
Jumlah anak yang terkena autis makin meningkat disetiap negara, di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 % sejak 1980 demikian juga California pada tahun 2002 terdapat 9 kasus autis per harinya sedangkan di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun (Judarwanto.W, 2004). Pada awal tahun 2002 di Inggris juga dilaporkan kejadian autis meningkat sangat pesat, yakni 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan anak laki-laki dan anak perempuan adalah 4:1, namun anak perempuan yang terkena autis akan menunjukan gejala yang lebih berat. Meningkatnya jumlah autis juga terjadi di Indonesia, diperkirakan anak autis yang ada di Indonesia mencapai 150-200 ribu orang (Judarwanto.W, 2006).
Berdasarkan angka kejadian penderita autis tersebut, di Bengkulu sendiri juga terdapat kenaikkan penyandang autis dari tahun ketahun salah satunya diyayasan Mutiara Bunda Kota Bengkulu yakni, pada tahun 2007 penyandang autis sebanyak 24 orang, tahun 2008 meningkat menjadi 36 orang, dan tahun 2009 berjumlah 59 orang.
Pada anak autis terdapat 2 tipe prilaku yaitu tipe Seeking Defensiveness (mencari) adalah tipe anak autis yang cenderung memiliki nafsu makan yang besar dan senang mengunyah sehingga jika si anak diberi makan maka anak tersebut akan menghabiskan makanannya hal ini berdampak pada kelebihan berat badan (Gizi lebih) atau pun Obesitas, sedangkan pada tipe menghindar adalah anak autis yang  memiliki nafsu makan yang kecil bahkan cendrung menghindar dari makanan yang masuk melalui mulut dan tidak senang mengunyah. Pada anak dengan tipe ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan berat badan dan dapat mempengaruhi status gizinya yakni ke status gizi kurang (Newsroom Republika, 2010).
Seorang ibu yang mempunyai anak penderita autis dituntut untuk lebih selektif dalam mengatur pola makan yang baik serta bergizi. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan si anak untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Dan ibu juga harus memiliki pengetahuan yang baik tentang gizi terkhusus bagi anak autis (Tajudin dan Mashabi, 2009).
Para orang tua anak penyandang autis diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya (Nugraheni, 2010), kurang disadari oleh para orang tua bahwa pengetahuan tentang kebiasaan makan pada anak-anak mungkin akan berpengaruh terhadap gangguan spectrum autis (ASD) (Eater, 2010), Namun dalam kenyataannya saat ini Ibu-ibu yang memiliki anak autis rata-rata kurang tahu makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh anaknya yang mengalami autis.
Pengolahan makanan pada anak autis harus bebas dari logam berat. Pada saat pengolahan makanan ibu sering menggunakan alat yang mengandung logam yang dapat mebahayakan  pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi (Dewo.S, 2008).
Pola pemberian makanan pada anak autis haruslah tepat, jika pola makanan yang diberikan pada anak autis tidak tepat maka akan berdampak buruk  pada  nutrisinya, yang dapat menyebabkan  gejala-gejala seperti diare atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, gas, dan kembung (Emilia, 2006). Hal ini juga dikemukankan oleh Mcginnis,  (2002) yang mengatakan bahwa 69% dari anak-anak autis menderita esofagitis (radang kerongkongan), 42% menderita gastritis (radang lambung), 67% menderitaduodenitis (radang usus dua belas jari), dan 88% menderita kolitis (radang usus besar). Gangguan pencernaan ini dialami dalam waktu yang lama, jika pola makanan pada anak autis tidak segera diatasi atau dirubah maka akan berakibat buruk bagi status gizinya.
Berdasarkan Penelitian (corllis, 2008) memungkinkan orang tua untuk membantu anak-anak ke pola makan yang sehat, dimana anak mungkin lebih memilih hanya satu atau dua makanan, atau hanya satu jenis tekstur. Pembatasan ini menjadi ancaman terhadap status gizi sebagai membatasi berbagai bahan gizi yang dikonsumsi.
Selain itu juga penelitian  yang dilakukan (Wu.Lijie, 2010) akibat dari pola makanan yang salah, terkait denagan asupan zat gizi dapat menyebabkan gangguan pencernaan termasuk diare kronis, Perut kembung, distensi perut dan sembelit sehingga dapat memperburuk status gizi anak autis.   
Jika pada anak-anak normal boleh mengkonsumsi semua jenis makanan, pada anak autis ada larangan makanan-makanan tertentu yang tidak boleh dikonsumsi, seperti makanan yang mengandung casein (protein susu), gluten (protein tepung), permen, sirup, jamur/yeast dan makanan siap saji yang mengandung pengawet, serta bahan tambahan makanan karena pada bahan makanan tersebut jika dikonsumsi anak autis maka akan terjadi gangguan pencernaan pada anak autis sehingga dapat mempengaruhi status gizinya, yakni ke gizi kurang (Syarief, 2008).  
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wu Lijie,dkk (2010) di Cina anak-anak autis dengan status gizi kurang yakni 8,1% dan yang memiliki gizi lebih atau obesitas sebanyak 31,5 % sedangkan 60,4 % status gizinya normal, sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan Tajudhin (2009), mengatakan bahwa 32,19% pola makan anak autis ditentukan oleh pengetahuan ibu.
Pada tahun 2010 RSJKO Soeprapto Bengkulu juga membuka pelayanan terapi untuk anak autis, pada survey awal di dapatkan jumlah pasien autis 11 anak, dengan status gizi kurang 27,2%. Sedangkan di yayasan Mutiara Bunda dari survey yang dilakukan dari 6 sampel yang diambil secara acak maka didapatkan anak dengan status gizi lebih ada 50% dan gizi kurang 16,6%, sedangkan pengetahuan ibu tentang gizi masih kurang, dan dari hasil wawancara yang dilakukan dari 6 orang ibu ternyata masih banyak ibu-ibu yang tidak mengetahui dan tidak memahami bahan makanan yang seharusnya tidak baik untuk dikonsumsi oleh anak autis serta pola makan anak yang di berikan masih tidak menuju ke gizi seimbang dan ibu masih memberikan bahan makanan yang mengandung gluten, kasein dan yeast/jamur.
Dari latar belakang yang menyebutkan bahwa terdapat kenaikan jumlah penderita autisme dari tahun ke tahun, serta beberapa masalah gizi yang diderita anak autis yang salah satunya berasal dari pola makan dan kurangnya pengetahuan ibu, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “ Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dan Pola Makan Anak Terhadap Status Gizi Anak Autis Di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota Bengkulu tahun 2011”.

1.2   Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang dikemukakan, masalah dalam penelitian ini adalah tingginya kasus status gizi lebih (50%) dan  gizi kurang (43,8%) pada anak autis yang ada di Yayasan Mutiara Bunda, RSJKO Soeprapto, dan SD Negeri 3 Kota Bengkulu. Berdasarkan permasalahan tersebut, dapat diambil pertanyaan pada penelitian ini yakni apakah ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dan pola makan anak terhadap status gizi anak autis.


1.3   Tujuan
1.3.1        Tujuan  Umum
           
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dan  pola makan anak terhadap status gizi anak autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto kota Bengkulu tahun 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya gambaran pegetahuan ibu tentang gizi anak autis di Yayasan              Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota Bengkulu
1.3.2.2  Diketahuinya gambaran pola makan anak autis di Yayasan Mutiara Bunda,              SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota Bengkulu.
1.3.2.3  Diketahuinya gambaran status gizi anak autis di Yayasan Mutiara Bunda,              SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota Bengkulu.
1.3.2.4 Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu tentang gizi terhadap status gizi anak             autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota             Bengkulu.
1.3.2.5 Diketahuinya hubungan pola makan anak terhadap status gizi anak autis di             Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto Kota Bengkulu.

1.4  Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dan Pola Makan Anak Terhadap Status Gizi Anak Autis Di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSJKO Soeprapto kota Bengkulu Tahun 2011, dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Bagi Akademik
Dalam hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dan bertambahnya pengetahuan tentang pelayanan kesehatan pada ibu dan anak, khususnya tentang pola makan anak autis dan pengetahuan gizi ibu untuk anak autis terhadap status gizi anak autis. Sehingga membuat para mahasiswa Poltekkes Jurusan Gizi dalam melaksanakan praktek lapangan benar-benar mampu menerapkan pengetahuan yang diperoleh dan juga dapat dijadikan sebagai tambahan referensi tentang Anak yang mengalami Gangguan sindrom Autis.
1.4.2        Bagi Institusi tempat penelitian
Hasil penelitian  di harapkan dapat memberikan data sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam peningkatan program pelayanan kesehatan pada penyandang autis. Dapat memberikan informasi dan masukan  yang bersifat membangun bagi tenaga kesehatan yang berkaitan dan meningkatkan kinerja pelayaan kesehatan pada umumnya.
1.4.3        Bagi Peneliti
Bagi peneliti dalam proposal ini sangat bermanfaat karena dengan adanya penelitian ini peneliti dapat mengetahui tentang sifat anak-anak autis dalam memilih makanan, anak autis yang tidak boleh mengkonsumsi beberapa bahan makanan karena akan mengakibatkan gangguan pencernaan pada anak autis dan masih banyak hal lain yang peneliti dapat yang sebelumnya peneliti tidak mengetahuinya.
1.5      Keaslian Penelitian
Penelitian ini sudah pernah di lakukan oleh beberapa peneliti diantaranya:
1.5.1        Penelitian tentang hubungan antara zat gizi makro terhadap status gizi pada anak autis telah di lakukan oleh Wahyu Ghatra Kusuma pada tahun 2010. Yang membedakan dengan penelitian ini adalah pada varibel, waktu dan sampel yang berbeda. Judul penelitiannya adalah hubungan antara asupan zat gizi makro terhadap status gizi pada anak autis di kota Bengkulu pada tahun 2010. Dan dari situ di dapat hasil adanya hubungan antara asupan zat gizi makro dengan status gizi anak autis.
1.5.2        Penelitian tentang Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Anak Autis yang dilakukan oleh Nurlaila Abdullah Mashabi dan Nur Rizka Tajudin tahun 2009 dengan hasil penelitiannya adalah terdapat hubungan antara Pengetahuan ibu dengan pola makan anak autis. Perbedaan penelitian ini adalah pada Tempat, sampel, waktu penelitian, varibel dan juga pada penelitian Nurlaila Abdullah Mashabi dan Nur Rizka Tajudin hanya menggunakan 2 variabel sedangkan pada penelitian ini ditambahkan 1 variabel lagi yaitu status gizi anak autis.
1.5.3        Penelitian tentang Status Gizi dan Asupan Pada Anak-anak Cina Dengan Autisme yang dilakukan oleh Wu Lijie tahun 2010 dengan hasil penelitian nya yakni status gizi anak autis sangat di pengaruhi oleh konsumsi dari beberapa vitamin dan nutrisi penting.
1.5.4        Penelitian tentang prilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autis dikota Binjai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autis dalam kategori cukup yaitu 68,8 untuk pengetahuan 59,4 % untuk sikap  dan 43,8% untuk tindakan. Pada umumnya anak autis memiliki status gizi normal berdasarkan TB/U dan IMT/U.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Autisme
2.1.1 Pengertian Autisme
              Kata Autis berasal dari bahasa Yunani “auto” yang berarti sendiri karena kalau kita perhatikan maka kita akan mendapat kesan bahwa penyandang autisme itu seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Pemakaian istilah autis diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 walaupun sebenarnya dari berbagai bukti yang ada diketahui bahwa kelainan ini sudah ada sejak jauh sebelum itu namun hanya istilahnya saja yang relatif masih baru (Newsline, 2007).
  Autisme atau disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), adalah gangguan perkembangan neurobiologist berat yang terjadi pada anak dalam usia kurang dari 3 tahun dan akan berlanjut jika tidak dilakukan intervensi. Gangguan perkembangan tersebut bervariasi bisa sedang sampai dengan berat, misalnya gangguan dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, berprilaku aneh, dan perubahan sensitivitas indera (Soetardjo,dkk 2007).
2.1.2  Faktor – Faktor Penyebab Autis
              Menurut Soetardjo (2007), penyebab autisme dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
2.1.2.1 Penyakit ibu waktu hamil, misalnya cacar air/rubella, virus citomegalo, keracunan kehamilan, anemia berat dan lain-lain mungkin dapat mempengaruhi perkembangan sel saraf otak janin/susunan saraf pusat. Kejadian setelah lahir, misalnya kurang oksigen atau tersedak air ketuban sehingga dapat menganggu sel saraf otak.
2.1.2.2 Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat dalam pengawet makanan, pewarna makanan, penambahan rasa (monosodium glutamat), dan food additive lainnya.
2.1.2.3 Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbale (Pb) dari limbah kendaraan bermotor, air raksa (Hg) dari ikan yang tercemar limbah tersebut, atau air raksa sebagai pengawet vaksin yang kadarnya melebihi ambang batas aman. Masalah polutan ini masih diperdebatkan karena ternyata gangguan autis juga ditemui di pedesaan terpencil.
2.1.2.4  Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein.
2.1.2.5  Infeksi jamur/yeast.
2.1.2.6 Alergi dan intoleran makanan dan lain-lain.  

2.1.3        Jenis Autisme
            Jenis Autis menurut faisal (2003) dalam A. Aziz. Alimul Hidayat adalah:
2.1.3.1    Autisme persepsi
Menurut autisme yang timbul sebelum lahir dengan lahir dengan gejala adanya rangsang dari luar baik kecil maupun kuat dapat menimbulkan kecemasan.

2.1.3.2    Autisme Reaktif
Atisme gejala dan penderita membuat gerakan – gerakan tertentu berulang  ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada usia 7-6 tahun, memiliki sifat rapuh, mudah terpengaruh oleh dunia luar.
2.1.3.3  Autisme yang timbul kemudian jenis ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat atau ditambah adanya pengaman yang baru.

2.2   Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001).
Status Gizi dibedakan atas status gizi kurang, baik, atau lebih. Beberapa Indeks Antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda (Supariasa, 2002).
Pines, 2004 dalam Rajwati 2003 yang menyatakan, bahwa status gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan penggunaaan makanan tersebut oleh tubuh. Penggunaaan zat gizi dari makanan tersebut dapat meliputi proses pencernaan, penyerpan dan metabolisme zat gizi yang ada di dalam tubuh. Konsumsi makanan dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu jenis makanan yang dibeli, proses pemasakan bahan makanan, pembagian makanan dalam keluarga dan kebiasaan makan.
Status gizi juga dinyatakan sebagai suatu keadaan kesehatan tubuh yang terjadi akibat adanya interaksi antara tubuh manusia. Zat gizi dalam makanan dan makanan yang dikonsumsi. Ketiga unsur tersebut merupakan penjabaran dari konsep hubungan antara host-agen-environtment. Tubuh manusia sebagai host (tuan rumah), zat gizi dalam makanan sebagai agen (penyebab penyakit) dan makanan yang dikonsumsi sebagai environment (lingkungan hidup manusia). Hubungan antara host, agen dan environment untuk saling berkaitan dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain (Soekirman, 2000).
Pada dasarnya status gizi ditentukan oleh dua hal utama, yaitu konsumsi gizi dari makanan yang dimakan dan keadaan kesehatan tubuh. Konsumsi gizi tergantung dari kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, ada tidaknya makanan tambahan dari luar keluarga, tingkat daya beli keluarga dan kebiasaan makan (Levinson Fj, 1997).
2.3  Status Gizi Autis
Kebanyakan anak-anak dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) mengalami gangguan pencernaan seperti, hiperpermeabilitas usus (leaky gut syndrome), malabsorbsi, enterocolitis (peradangan usus), gangguan detoksifikasi dan lain sebagainya. Semua abnormalitas yang ada pada usus ini mengganggu fungsi pencernaan sehingga timbul berbagai macam defisiensi nutrisi. Untuk anak-anak ini pencernaan yang sehat merupakan hal yang vital. Terganggunya fungsi alat pencernaan mempunyai dampak yang buruk. Anak dengan autis mempunyai alat pengecapan yang sangat peka, hanya menyukai makanan yang itu-itu saja. Mereka tidak mau untuk mencicipi makanan yang lain. Kebanyakan dari mereka tak suka sayur dan tak suka buah. Bahkan ada yang hanya hidup dari  susu dan mi instan dengan coklat sebagai cemilannya. Tak jarang Individu dengan autisme biasanya memiliki status gizi buruk dan gizi lebih, Mereka sering memiliki pencernaan yang buruk (sekitar 25% mengalami diare kronis dan 25 persen mengalami sembelit) dan kondisi peradangan usus yang membatasi penyerapan gizi (Budhiman, 2010).
Menurut McBride (2009), bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini. Akibatnya protein yang tercerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opiaid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas. Morfin layaknya seperti morfin yang terkandung dalam narkotika.
Beberapa gangguan gizi yang sering ditemukan pada anak autis adalah :
2.3.1 Kekurangan zink 90% yang diperlukan untuk pengembangan mukosa usus dan system imun yang sehat.
2.3.2        kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, anti oksidan, dan vitamin hampir terlihat pada semua anak autis.
2.3.3        90% kelebihan tembaga, kelebihan tembaga dalam tubuh, berperan sebagai prooksidan yang meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel terutama pada sel otak (Soetardjo, 2007).

2.4   Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung yaitu pengukuran antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik, sedangkan penilaian status gizi sacara tidak langsung yaitu survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekology (supariasa, 2002).

2.4.1 Penilaian Status Gizi Sacara Langsung
Menurut Supriasa (2002) Penilaian status gizi secara langsung adalah sebagai berikut:
2.4.1.1 Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Dari uraian tersebut maka dapat ditarik pengertian bahwa antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Suparisa, 2002).
Kelebihan Antropometri :
-          Alatnya mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan     atas, dan mikrotoa.
-           Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif.
-          Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus profesional,     juga oleh tenaga lain yang telah dilatih sebelumnya.
-          Biaya relatif murah, karena alat mudah didapat.
-           Hasilnya mudah disimpulkan karena mempunyai ambang batas (cut off points) dan baku rujukan yang sudah pasti.
-           Secara ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua negara menggunakan antropometri sebagai metode untuk mengukur status gizi masyarakat. (Supariasa, 2002).
Kekurangan Antropometri :
-          Membutuhkan data referensi yang relevan
-          Kesalahan yang muncul seperti kesalahan pada peralatan (belum dikalibrasi), kesalahan pada observer (kesalahan pengukuran, pembacaan, pencatatan).
-          Hanya mendapatkan data pertumbuhan, obesitas, malnutrisi karena kurang energi dan protein, tidak dapat memperoleh informasi karena defisiensi zat gizi mikro.
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter yaitu :


 Berat badan
Berat merupakan pilihan utama dalam pengukuran antropometri karena berbagai pertimbangan, antara lain:
-          Parameter yang paling baik, mudah melihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan
-          Memberikan gambaran status gizi sekarang dan kalau dilakukan secara periodik memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan.
-          Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas di Indonesia
-          Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukuran (Supariasa, 2002).
Dalam Pengukuran berat badan peneliti menggunakan Bathroom Scale Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Adapun persyaratan alat yang digunakan untuk menimbang adalah:
-  Mudah digunakan dan bisa dibawah dari suatu tempat ketempat lain
-  Mudah diperoleh dan relative murah harganya
-  Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg
-  Skala mudah dibaca
-  Cukup aman untuk menimbang balita. (Supariasa, 2002).
Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesehatan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disrtai dengan penentuan umur yang tepat. ( Supriasa, 2002).
Indeks Antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
2.4.1.1.1        Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti perkembangan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Indeks BB/U mempunyai beberapa kelebihan antara lain:
- Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis
- Berat badan sangat sensitif terhadap perubahan perubahan kecil, serta dapat mendeteksi kegemukan.
Adapun kekurangan indeks BB/U, antara lain:
-          Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites
-          Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit ditaksir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik
-          Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak di bawah usia 5 tahun
-          Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan
-          Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Misalnya orang tua tidak mau menimbang anaknya, karena dianggap seperti barang dagangan, dan sebagainya.
2.4.1.2       Klinis
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Survei dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.


2.4.1.3 Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang lebih spesifik.
2.4.1.4 Biofisik
Metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa, 2002).
2.4.2  Penilaian Status Gizi Secara Tidak langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi 3, yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi.
 2.4.2.1 Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga, dan individu.
Metode pengukuran konsumsi makanan untuk tingkat individu atau perorangan, antara lain: Metode recall 24 jam, metode estimased food records, metode penimbangan makanan (food weighing), metode dietery history, metode frekuensi makanan (food frekuensi) (Supariasa, 2002).

2.4.2.1.1 Metode frekuensi makanan (FFQ)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama priode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun.
Kelebihan metode FFQ yaitu, Relative murah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus dapat membantu untuk memperjelas hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.
Kekurangan metode FFQ yaitu, Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, cukup menjemukan bagi pewancara, responden harus jujur dan mempunyai motivasi yang tinggi (Supariasa, dkk, 2002).

2.4.2.2 Statistik Vital            
Menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.


2.4.2.3  Faktor ekologi
              Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain- lain (Supariasa, 2002).

2.5              Faktor- faktor yang mempengaruhi status gizi 
Status gizi anak pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu, makanan yang dimakan dan keadaan kesehatan. Kualitas dan kuantitas makanan seorang anak tergantung pada kandungan zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik ibu tentang makanan dan kesehatan (Supriasa, 2002).
Menurut Unicef (1998) gizi kurang pada anak balita disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah dan akar masalah.
Timbulnya gizi kurang bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Soekirman, 2000). Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.    Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi (Unicef, 1998) Sedangkan penyebab mendasar atau akar masalah gizi di atas adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita (Soekirman, 2000).
2.5.1 Pengetahuan
  2.5.1.1  Pengertian Pengetahuan  
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia yang sekedar menjawab pertanyaan ”what” (Notoatmodjo, 2002). Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui atau akan diketahui dengan satu hal (Purwadarminto, 1998 Cit Heniarusti, 2010). Pengetahuan adalah kumpulan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonik dalam suatu bangun yang teratur (Ahmadi, 2004).
Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia di perolah melalui matadan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Overt behavior) (Natoadmodjo, 2005).
2.5.1.2   Pengetahuan Ibu Tentang gizi
     Seorang ibu yang hanya tamat Sekolah Dasar belum tentu pengetahuannya tentang menu seimbang jauh ibu rendah dibanding dengan ibu-ibu yang tamat dari sekolah lanjutan, karena pengetahuaan itu tidak hanya diperoleh dari bangku sekolah, namun pengetahuan lebih banyak diperoleh dari pengalaman hidup sehari-hari terutama pengetahuan ibu tentang gizi. Dengan pengetahuan gizi yang cukup diharapkan seseorang dapat mengubah perilaku yang kurang benar sehingga dapat memilih bahan makanan bergizi serta menyusun menu seimbang sesuai dengan kebutuhan dan selera serta akan mengetahui akibat adanya kurang gizi. Pemberian pengetahuan gizi yag baik diharapkan dapat mengubah kebiasaan makan yang semula kurang menjadi lebih baik (Depkes RI, 2000).
Dalam penelitian menyebutkan bahwa yang mempengaruhi status gizi anak adalah pengetahuan ibu mengenai makanan yang harus dikonsumsi anaknya sehingga dapat mencegah terjadinya status gizi kurang pada anak sekolah dasar. Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) merupakan salah satu bahan komunikasi informasi edukasi (KIE) bagi setiap individu/orang untuk mencapai status gizi yang baik dan berprilaku gizi yang baik dan benar (Marsianto, 1997).
Penelitian baru menunjukkan kebanyakan orang tua yang anaknya menderita autis, melaporkan bahwa anak-anak mereka mengalami gangguan terhadap lambatnya memakan makanan padat dan menjadi pemilih dalam menentukan makanan. Pengetahuan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pengetahuan yang baik maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anak, pendidikan dan sebagainya. (Soetjiningsih, 1995).
2.5.1.3  Tingkat Pengetahuan
              Menurut Natoadmodjo (2005) Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu sebagai berikut:
2.5.1.3.1 Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingta kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2.5.1.3.2 Memahami (comphrehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
2.5.1.3.3 Aplikasi (apliclation)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
2.5.1.3.4 Analisis (analisis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
2.5.1.3.5 Sintesis (syinthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentukkeseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru daru formulasi-formulasi yang ada.
2.5.1.3.6  Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
Menurut (Poedjawitna, 1998 dalam Purwanto, 2008) pengetahuan mencakup 2 tingkatan, yaitu:
-          Pengetahuan biasa
              Pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang digunakan orang dalam hidupnya sehari-hari tanda mengetahui seluk beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.Misalnya tahu bahwa air akan mendidih kalau dipanaskan.
-           Ilmu
Ilmu adalah minat pada pengetahuan yang bukan hanya pada gangguan tapi juga berusaha memuaskan keinginannya lebih mendalam. Misalnya: tidak puas dengan mengetahui bahwa air yang dipanaskan akan mendidih maka manusia mempelajari sifat air, unsur air, syarat mendidih dan sebagainya.
              Pengetahuan biasa manusia meningkat menjadi ilmu ketika manusia tidak puas dengan hanya sekadar tahu, tapi memuaskan rasa ingin tahunya dengan menelusuri secara mendalam.  

2.5.1.3  Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005) cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan dengan :
2.5.1.3.1 Cara tradisional
2.5.1.3.1.1  Cara coba – salah (trial and error)
Cara coba-coba dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam memecakan masalah, apabila kemungkinan belum berhasil dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan yang kedua ini gagal akan dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya.
2.5.1.3.1.2.Cara kekuasaan /otoritas
Pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otorits pemimpin agama maupun ahli ilmu pengetahuan. Misalnya kebanyakan orang masih melestarikan trade (kebiasaan warisan leluhur).
2.5.1.3.1.3.Berdasarkan pengalaman pribadi
Hal ini dilakukan dengan cara melakukan kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu dan diterapkan untuk memecahkan masalah pada saat sekarang.
2.5.1.3.1.4 Melalui jalan pikiran
Dengan cara induksi dan deduksi. Induksi adalah apabila proses pembuatan keputusan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus kepada yang umum. Deduksi apabila pembuatan kesimpulan dari kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus.
2.5.1.3.2.5  Cara Modern
Cara modern memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut Metodologi penelitian atau Metode Penelitian Ilmiah.

 Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak

Pola pemberian makan pada anak perlu dilakukan secara tepat karena kondisi anak berbeda dengan orang dewasa. Anak merupakan sosok manusia yang sedang   mengalami perubahan dan perkembangan yang paling pesat dalam kehidupannya, yaitu perkembangan kematangan sistem pencernaan, kematangan organ-organ tubuh, otak dan jiwa. Pada masa ini orang tua perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dalam pemilihan dan cara pemberian makan pada anak (Widodo, 2009).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan perilaku yang tanpa didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan ibu yang baik tentang gizi akan berdampak postif terhadap pola makan anak. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashabi dan Tajudin (2009) tentang pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autisme menunjukan bahwa tinggi rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola makan anak autisme artinya semakin tinggi pengetahuan gizi ibu dapat mempengaruhi pola makan anak autisme dan sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka sangatlah penting bagi para ibu untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pola pemberian makan pada anak. Peningkatan pengetahuan ini dapat diperoleh dari berbagai informasi yang terdapat di media cetak, media elektronik maupun dari orang lain yang memiliki pengalaman tentang pola pemberian makan pada anak.                                                                     Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Pada Anak
Pemberian makan pada anak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak atas za-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi juga merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak, baik sejak dalam kandungan maupun setelah anak lahir.
Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Nugraheni pada 160 anak autisme di Semarang dan Solo dengan menganjurkan diet ketat pada makanan yang mengandung kasein dan gluten ia juga mengadakan pengamatan dan konseling pada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas gluten dan kasein secara rutin, ternyata setelah 3 bulan terjadi perkembangan yang cukup baik pada penyandang autisme, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.

Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Perilaku juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah respon atau reaksi terhadap stimulus yang masih dalam bentuk perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap pada seseorang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : Seorang ibu tahu pentingnya makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk kebutuhan gizi keluarganya. Sedangkan prilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan dapat diamati oleh orang lain misalnya: seorang ibu yang selalu memasak makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.
2.5.2            Pola Makan
2.5.2.1   Pengertian Pola Makan
              Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu, Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara atau usaha untuk melakukan kegiatan makan
secara sehat. Sedangkan yang dimaksud pola makan sehat dalam penelitian ini adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan setiap harinya (Depdiknas, 2001).
              Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu masyarakat tertentu, pola makan dalam kelompok memberi dampak pada distribusi makanan antara anggota dan mutu serta jumlah bagian tiap anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan gizi (Leiwakabessy, 2008)
              Pola makan merupakan pola konsumsi keluarga dan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Selain ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan keluarga tersebut. Konsumsi makanan oleh masyarakat atau oleh keluarga bergantung pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara peroranagan dalam pola konsumsi keluarga cara yang paling tepat untuk mengetahuinya yaitu dengan mengadakan survey konsumsi makan (Data statistic Indonesia, 2008).
2.5.2.2 Jenis makanan
Zat-zat makanan yang diperlukan tubuh dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Almatsier, 2004).
2.5.2.2.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber tenaga utama kegiatan sehari-hari Terdiri dari unsur C, H, dan O. Berdasarkan gugus penyusun gulanya dapat dibedakan menjadi monosakarida, disakarida dan polisakarida. Karbohidrat terdiri dari tepung terigu seperti : nasi; kentang; mie; ubi; singkong dll., gula seperti : gula pasir; gula merah dll. Dampak yang ditimbulkan apabila kekurangan karbohidrat sebagai sumber energi dan kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein).
2.5.2.2.2 Protein
Terdiri dari unsur C, H, O dan N, dan kadang – kadang S dan P, diperoleh melalui tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan (protein hewani) berfungsi : Membangun sel – sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormone, membentuk zat anti energi, dalam hal ini tiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1 kalori Perlu diperhatikan bahwa apabila tubuh menderita kekurangan protein, maka serangan penyakit busung lapar (hongeroedeem) akan selalu terjadi. Protein banyak terdapat pada ikan, daging, telur, susu tahu, tempe dll.
2.5.2.2.3 Lemak
Lemak juga merupakan sumber tenaga. Lemak merupakan senyawa organik yang majemuk, terdiri dari unsur-unsur C, H, O yang membentuk senyawa asam lemak dan gliserol (gliserin) apabila bergabung dengan zat lain akan membentuk lipoid-fosfolipid dan sterol. Berfungsi untuk penghasil kalori terbesar yang dalam hal ini tiap gram lemak menghasilkan sekitar 9,3 kalori, sebagai pelarut vitamin tertentu, seperti A, D, E, K, sebagai pelindung alat-alat tubuh dan sebagai pelindung tubuh dari temperatur rendah.
2.5.2.2.4 Vitamin
Vitamin dikelompokkan menjadi; vitamin yang larut dalam air, meliputi vitamin B dan C dan vitamin yang larut dalam lemak/minyak meliputi A, D, E, dan K. di Indonesia saat ini anak kelompok balita menunjukkan prevalensi tinggi untuk defisiensi vitamin A. Vitamin A (Aseroftol) berfungsi penting bagi pertumbuhan sel-sel epitel dan penting dalam proses oksidasi dalam tubuh serta sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata.
2.5.2.2.5 Mineral
Mineral merupakan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat sedikit. Contoh mineral adalah zat besi/Fe, zat fosfor (P), zat kapur (Ca), zat fluor (F), natrium (Na), chlor (Cl), dan kalium (K). Umumnya mineral terdapat cukup di dalam makanan sehari-hari. Mineral mempunyai fungsi sebagai pembentuk berbagai jaringan tubuh, tulang, hormone, dan enzim sebagai zat pengatur berbagai proses metabolism, keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuan darah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai komponen sitokrom yang penting dalam pernafasan dan sebagai komponen dalam hemoglobin yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah putih.

2.5.3     Pola Makan Anak Autis
Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang menyebabkan reaksi alergi pada anak autis seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang maupun ikan. Selain itu konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Tajudin dan Mashabi, 2009)
Alergi makanan dapat menjadi penyebab terjadinya autisme. Pada penderita autis diperlukan vitamin dan mineral untuk memperbaiki jaringan yang lain. Diperlukan edukasi pada orang tua autis tentang hal tersebut. Diet yang diberikan pada anak autis adalah diet bebas gluten dan kasein (Gluten free Casein free). Gluten adalah sejenis kasein yang banyak ditemukan pada biji sereal seperti terigu atau gandum, sedangkan kasein merupakan protein susu (Sari, 2009).
Menurut Judarwanto (2009), pada anak autis mengalami kesulitan makan penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi  lebih dari 1 faktor. Pada penyandang Autis penyebab paling sering yang terjadi adalah gangguan nafsu makan dan gangguan proses makan.    Peristiwa kesulitan makan yang terjadi pada penyandang Autis biasanya berlangsung lama. Komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori, protein, vitamin, mineral, elektrolit dan anemia (kurang darah).
Sehingga menurur Judarwanto (2009), ada beberapa  langkah yang dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada anak yang harus dilakukan adalah : pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan makan, cari penyebab kesulitan makanan pada anak, identifikasi adakah komplikasi yang terjadi, pemberian pengobatan terhadap penyebab, bila penyebabnya gangguan saluran cerna (seperti alergi, intoleransi atau coeliac), hindari makanan tertentu yang menjadi penyebab gangguan.
Anak autis dikenal dengan 2 tipe yaitu tipe pencari dan tipe menghindar, untuk tipe pencari berikan pola makan yang tepat anak harus diberikan makanan bertekstur dan berpola. Maksudnya berpola, anak bertipe pencari dikenalkan dahulu makanan yang memerlukan proses mengunyah lebih lama baru diperkenalkan pada makanan bertekstur lembut. Dengan harapan, anak akan mudah kenyang hingga menghindarkan diri dari obesitas. Sedangkan, untuk anak yang bertipe menghindar berikan makanan yang bertekstur halus terlebih dahulu sebelum diberikan makanan bertekstur kasar. Pasalnya, anak pada tipe menghindar begitu sensitif terhadap makanan. Bila tidak ditangani dengan baik berpotensi besar mengalami gizi buruk (Newsroom Republika, 2010).

2.5.3.1  Cara Mengatur makanan Pada Anak Autisme
Cara mengukur makanan pada anak autis dapat dilakukan dengan:
2.5.3.1  Berikan makanan seimbang dengan menggantikan makanan yang  mengandung kasein dan gluten dengan bahan-bahan lain untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
2.5.3.2  Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
2.5.3.3  Gunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak olive sebagai pengganti minyak goreng konvesional.
2.5.3.4  Konsumsi banyak serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
2.5.3.5  Hindari makanan yang menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat pewarna, zat pengawet).
2.5.3.6  Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, lantaran anak terlalu sulit menerima asupan makanan, maka pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium). Langkah ini harus dikonsultasikan dengan dokter.
2.5.3.7  Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak akan bosan.
2.5.3.8  Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan sayuran segar.

2.6  Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dengan Pola makan anak Autis
Konsumsi makanan berpengaruh pada status gizi seseorang. Status gizi baik atau optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat gizi secara efisien. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan baik pada status gizi kurang atau status gizi lebih terjadi gangguan gizi. Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau faktor skunder. Faktor primer adalah bila susunan makan seseorang salah dalam kuantitas akan menimbulkan resiko dalam terjadinya berbagai penyakit (Almatsier, 2002).
Menurut Supariasa, (2002) pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek, pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang lama, dengan demikian kesalahan dalam pola makan akan mengakibatkan perubahan status gizi pada saat ini akan tetapi perubahan status gizi tersebut akan tampak beberapa tahun yang akan datang. Berdasarkan karateristik tersebut maka indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Berat badan memiliki hubungan yang sangat erat dengan tinggi badan, dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang).
Berdasarkan hasil penelitian (Tajudin dan Mashabi, 2009) dengan judul Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Pola makan anak Autis dapat disimpulkan, yakni terdapat hubungan positif antara pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis, ini berarti bahwa meningkatnya pengetahuan gizi ibu akan meningkatkan pula pola makan anak autis. Koefisien determinasi yang diperoleh (rxy)² = 0,32, hal ini berarti bahwa 32,19% pola makan anak autis ditentukan oleh pengetahuan gizi ibu.

2.7  Hubungan Pengetahuan ibu tentang gizi Dengan Status Gizi Autis
Menurut Suhardjo (2003), dalam penyediaan makanan keluarga dalam hal ini dilakukan oleh seorang ibu, banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan yang bergizi, hal ini disebabkan salah satunya karena kurangnya pengetahuan akan bahan makanan yang bergizi.       
              Semakin banyak pengetahuan gizinya, semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk dikonsumsinya. Orang awam yang tidak mempunyai cukup pengetahuan gizi, akan memilih makanan yang paling menarik panca indera, dan tidak mengadakan pilihan berdasarkan nilai gizi makanan. Sebaliknya mereka yang semakin banyak pengetahuan gizinya, lebih mempergunakan pertimbangan rasional dan pengetahuan tentang gizi makanan tersebut (Sedioetama, 2000).
              Dengan pengetahuan tentang gizi yang baik, seorang ibu dapat memilih dan memberikan makan bagi makanan yang baik dan bernilai gizi tinggi sehingga dapat berperan penting  terhadap Asupan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi dapat mempengaruhi status gizi.
              Orang tua mungkin merasa cemas atau tertekan, karena mereka ingin memberikan nutrisi terbaik untuk anak mereka. Mungkin sulit bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan mereka, terutama jika mereka tidak merasa percaya diri. Oleh karena itu, persepsi orang tua tentang pengetahuan gizi mereka sendiri dan persepsi mereka tentang status gizi anak mereka dapat memberikan wawasan bagi para ahli diet mengenai cara untuk merawat anak-anak dengan Autisme dan memberikan pendidikan gizi (corllis, 2008).


2.8  Hubungan Pola Makan Dengan Status Gizi Anak Autis
Secara umum, anak-anak dengan gangguan spektrum autisme lebih sedikit makan sayuran dan buah, permen, dan minuman bersoda daripada rekan-rekan mereka tanpa autisme. Namun, pola makan yang tidak baik pada anak autis ada hubungannya dengan status gizi anak. Sesuatu yang sangat penting dan utama dalam autism mungkin luput dari perhatian orang tua adalah gizi atau makanan. Tak ada yang memungkiri bahwa pengaturan makanan (diet) akan membawa dampak perbaikan pada anak autism (Shattock dan Whitey).
Pola makanan anak autis sama dengan pola makan anak yang tidak autis, dimana anak autis harus mengkonsumsi makanan yang mengandung berbagai macam jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Walaupun anak-anak dengan gangguan autisme lebih sulit untuk makan dan variasi dalam makanan (Emmet, 2010).
Autisme melibatkan efek perilaku pada pola makan yang salah, medis dan psikologis yang telah ditemukan untuk dihubungkan ke nutrisi. Banyak anak autis memiliki saluran pencernaan terbelakang yang mengarah ke perilaku makan seperti sembelit, regurgitasi, memamah biak dan makan selektif. Saluran pencernaan belum berkembang memiliki lapisan mukosa tipis, sehingga molekul makanan untuk diserap dalam aliran darah sebelum waktunya, tetapi juga menyebabkan peradangan dan iritasi. Selain itu, saluran pencernaan terbelakang bertanggung jawab atas kekurangan beberapa nutrisi penting, yang bisa meniru gejala gangguan neuro perkembangan. Kekurangan yang paling umum ditemukan pada anak-anak dengan autism termasuk vitamin A, vitamin C, thiamin, riboflavin, niasin, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, kalsium dan besi. Vitamin ini hilang dan mineral memperburuk perilaku makan serta menyebabkan penurunan kesehatan secara keseluruhan. Mengunyah masalah dan masalah perilaku telah diidentifikasi sebagai umum pada anak dengan autisme dan telah diidentifikasi sebagai lazim terutama pada anak-anak dengan cacat pada anak usia dini,  Hal ini juga karena peningkatan risiko keterlambatan perkembangan keterampilan dan motorik seperti juga ditemukan (Collins, 2003).
Berdasarkan Penelitian memungkinkan orang tua untuk membantu anak-anak pola makan yang sehat dan cara-cara untuk mengatasi perilaku makan, Ini mungkin ringan sampai parah, dimana anak mungkin lebih memilih hanya satu atau dua makanan, atau hanya satu jenis tekstur. Pembatasan ini menjadi ancaman terhadap status gizi sebagai membatasi berbagai bahan gizi yang dikonsumsi (corllis, 2008).
Mengganti pola makan anak Autis  membutuhkan ketekunan,  kegigihan dan konsistensi yang luar biasa. Disini peran orang tua dan orang-orang didalam rumah (para opung, tante, oom dan juga pembantu) sangat besar. Semuanya harus sepakat untuk membantu anak tersebut. Masih banyak orang tua yang merasa takut untuk menerapkan pola makan yang berbeda tersebut, oleh karena takut anaknya kurang gizi, jadi sakit-sakitan dan sebagainya. Namun beberapa orang tua yang berhasil, melihat perubahan yang besar pada anaknya, mereka jadi lebih menyukai makanan yang sehat, pencernaannya membaik, pola tidur jadi bagus, demikian juga perilakunya (Budhiman, 2010).
Selain itu juga berdasarkan penelitian  yang dilakukan (Wu.Lijie, 2010) akibat dari pola makanan yang salah, terkait denagan asupan zat gizi dapat menyebabkan gangguan pencernaan termasuk diare kronis, Perut kembung, distensi perut dan sembelit sehingga dapat memperburuk status gizi anak autis.   

2.9  Hipotesis
2.9.1        Ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis.
2.9.2        Ada hubungan antara pola makan anak dengan status gizi anak autis.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.  Desain penelitian
Status Gizi Normal
                 Penelitian ini menggunakan desain deskritif analitik dengan metode cross sectional, karena variabel independent (pengetahuan ibu tentang gizi dan pola makan anak autis) dan dependent (status gizi anak autis) diukur dalam waktu bersamaan.
baik
 

Status Gizi Tidak Normal
                

pengetahuan ibu tentang gizi
kurang
Status Gizi  Normal
Status Gizi Tidak Normal
Pola makan anak autis  
baik
Tidak baik
Status Gizi Normal
Status Gizi Normal
Status Gizi Tidak Normal
Status Gizi Tidak Normal
Responden
Ibu anak autis
 











Gambar 1 desain Cross sektional
3.2. Kerangka Konsep
Status Gizi anak autis
Pola makan anak autis
Pengetahuan Ibu tentang gizi
                 Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel independent yaitu Pengetahuan ibu tentang gizi dan Pola makan anak autis variabel dependent yaitu Status gizi anak autis.
        Variabel independent                                                      Variabel dependent
                                                                       


                                               
                                                Gambar. 2 Kerangka Konsep

3.3 Defenisi Operasional
            Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

No
Variabel
Defenisi Operasional
Alat Ukur
Cara ukur
Hasil ukur
Skala
1.
Pengetahuan ibu tentang Gizi anak autis
Pengetahuan serta pemahaman ibu mengenai zat gizi seimbang serta pengetahuan ibu mengenai gluten, kasein , zat aditif yang  ada pada makanan yang tidak boleh di konsumsi anak autis.
Kuesioner 
Wawancara
0.     Kurang  bila skor responden menjawab <  nilai median

1.    Baik bila skor responden menjawab > nilai median
Ordinal
2.
Pola Makan anak
frekuensi dan Jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak autis yang bebas dari gluten, kasein, dan jamur (yeast).
FFQ
Wawancara
0.      Tidak baik jika  ibu memberikan makanan yang mengandung  gluten, kasein dan yeast
1.      baik  jika ibu tidak memberikan makanan yang mengandung  gluten, kasein dan yeast
Ordinal
3.
Status Gizi
Keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan keadaan fisiknya dapat di hitung dan diukur secara antropometri menurut WHO Antro plus dan 2005
Timbangan injak


Pengukuran Antropometri BB/U.
0.      Tidak normal bila WHO Antro plus terletak < -2 SD dan > +2 SD.
1.      Normal bila WHO Antro plus terletak antara    -2 SD dan  +2SD.


Ordinal




3.4. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Arikunto, 2002), sedangkan populasi pada penelitian ini adalah  seluruh anak yang menderita autis berjumlah 49 orang yakni di RSJKO Soeprapto, Yayasan Mutiara Bunda dan SDN 3 Kota Bengkulu.
3.5. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002 : 79) Sampel dalam penelitian ini adalah total sampling, yakni jumlah populasi adalah sampel,  berjumlah 49 orang bertempat di RSJKO Soeprapto, Yayasan Mutiara Bunda dan SDN 3 Kota Bengkulu.
3.6. tempat dan waktu penelitian
3.6.1  Tempat
Pada penelitian ini dilakukan di Yayasan Mutiara Bunda, RSJKO Soeprapto, dan SDN 3 Kota Bengkulu.
3.6.2   Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan january-Agustus tahun 2011
3.7. pengumpulan data
3.7.1   Data primer
3.7.1.1       Data identitas responden: nama, umur, alamat
3.7.1.2        Data pengetahuan ibu tentang gizi  anak autis dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.
3.7.1.3       Data tentang pola makan anak autis dengan cara wawancara menggunakan format FFQ.
3.7.1.4        Data tentang status gizi anak autis dengan menimbang Berat badan menggunakan timbangan injak yang telah dikalibrasi.
3.7.2 Data sekunder meliputi data gambaran umum daerah penelitian diwilayah kota Bengkulu. 
3.8    Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpul diolah dengan menggunakan program komputer. Agar penelitian menghasilkan informasi yang benar maka pengolahan data akan dilakukan dengan tahapan dengan yang benar yaitu:
3.8.1   Editing (Pemeriksaan Data)
            Kegiatan ini meliputi pemeriksaan dan melengkapi serta memperbaiki data
yang telah ada secara keseluruhan.
3.8.2 Coding (Penkodean Data)
            Usaha untuk mengklasifikasi jawaban-jawaban dari kuesioner dengan menggunakan kode. Tujuannya untuk mempermudah pada saat analisa data.
3.8.3        Tabulating (Tabulasi Data)
   Setelah dilakukan Coding maka dilakukan tabulasi data dengan memberikan skor masing-masing jawaban responden.
3.8.4        Cleaning
              Setelah data disusun dan selesai maka dilakukan pemeriksaan kembali untuk memastikan apakah semua data sudah benar dan siap dianalisis.
3.8.5        Entry Data
Tahap memasukan data kedalam komputer sesuai dengan variabel yang sudah ada.
3.9 Analisis Data
3.9.1 Analisis Univariat
 Analisis Univariat bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi variabel yang diteliti, baik variabel independent maupun dependent. Guna mendapatkan gambaran atau karakteristik sampel dengan membuat tabel distribusi Frekuensi.
F
                                          p =                                   X 100%                            
n
Keterangan :
P: Jumlah persentase yang dicari
f: Jumlah frekuensi untuk setiap kategori jawaban
n: jumlah subjek penelitian (Arikunto, 1996)
Dari rumus diatas kualitas proporsi didapat dalam bentuk persentase yang dapat diinterprestasikan dengan menggunakan skala :
0 %                 =  tidak satupun dari responden
1 % - 25%      =  sebagian kecil dari responden
26 % -49 %    =  hampir sebagian dari responden
50 %               =  setengah dari responden
51 % -75 %    =  sebagian dari responden
76 % - 99 %   =  hamper seluruh responden
100 %            =  seluruh responden. (Arikunto, 1996)
3.9.2 Analisis Bivariat
   Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independent (pengetahuan ibu tentang gizi dan pola makan anak autis) dan variabel dependen (status gizi anak autis) dengan menggunakan anlisis uji chi-square. Data yang diperoleh dianalisa secara komputerisasi, dengan menggunakan tabel 2x2 dengan angka kepercayaan 95%.
Keputusan  Uji :
1.      Ha diterima bila (P<0,05) berarti ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis.
2.      Ha diterima bila (P<0,05) berarti ada hubungan antara pola makan dengan status gizi anak autis.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1    Jalannya Penelitian
   Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak terhadap status gizi anak autis di Kota Bengkulu. Populasi pada penelitian ini adalah  anak penderita autis yang berada di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 kota Bengkulu dan RSJKO Soeprapto Bengkulu dengan jumlah seluruh sampel adalah 49 orang dengan menggunakan teknik total sampling . Jumlah sampel yang berhasil ditemui dan berkenan menjadi sampel penelitian adalah 49 anak, dan 4 orang anak lagi tidak menjadi sampel penelitian dikarenakan orangtuanya tidak bersedia anaknya menjadi sampel dalam penelitian ini.Pengumpulan data dilakukan dengan  menggunakan data primer dan sekunder yang dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan cara koesioner dan mengukur berat badan seluruh sampel yang didapat  dengan menggunakan  timbangan injak. Data sekunder didapat dari kepala sekolah dan guru yang berperan sebagai wali siswa.
      Setelah data terkumpul dilakukan pengkodean diperiksa dan diolah dengan analisa univariat dengan menggunakan distribusi frekuensi dan analisa bivariat dengan menggunakan Uji Chi Square (X2).


4.2    Hasil Analisa
4.2.1   Analisa univariat
Analisa ini dilakukan untuk mendapat gambaran distribusi frekuensi dan variabel yang diteliti, baik independent maupun dependent.
1.      Distribusi sampel berdasarkan pengetahuan ibu tentang gizi, pola makan anak autis  dan status gizi pada anak autis.
            Data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah secara komputerisasi dengan hasil analisa univariat dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut
Tabel 41 Distribusi Frekuensi pengetahuan ibu tentang gizi, pola makan anak autis  dan status gizi pada anak autis.

Variabel
Frekuensi
Presentasi (%)
Pengetahuan ibu tentang gizi
-      Baik
27
55,1
-      kurang
22
44,9
Jumlah
49
100

Pola makan anak
-     baik
5
10,2
-     tidak baik
44
89,8
Jumlah
49
100

Status gizi anak autis
-      normal
40
81,6
-      Tidak Normal
9
18,4
Jumlah
49
100

           
Dari  tabel 4.1 diketahui distribusi frekuensi pengetahuan gizi  ibu Dari 49 ibu yang memiliki anak autis di Kota Bengkulu tahun 2011 sebagian besar mempunyai pengetahuan gizi yang baik yakni 27 orang (44,9 %), pola makan anak autis yang baik sebanyak 5 orang (10,2%) dan  anak autis yang memiliki status gizi normal berjumlah 40 orang (81,6%).
4.2.2        Analisa Bivariat
               Analisa ini dilakukan untuk mendapat mengetahui hubungnan antara variabel independent dan variabel dependent dengan menggunakan uji chi-square.
 1.  Hubungan frekuensi pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi berdasarkan BB/U anak autis di Kota Bengkulu tahun 2011.
                  Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang gizi anak autis dengan status gizi BB/U anak autis. Untuk itu dilakukan uji Chi-square. Adapun hasil analisanya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut
Tabel 4.2  Hubungan frekuensi pengetahuan ibu tentang gizi dengan status             gizi berdasarkan BB/U anak autis di Kota Bengkulu tahun 2011.
Fekuensi  pengetahuan gizi ibu
Status Gizi
Total
p value
Tidak normal
Normal
    n
%
N
%
n
%
Kurang
3
13,6
19
86,4
22
100
0,48
Baik
6
22,2
21
77,8
27
100

Total
9
18,4
40
81,6
49
100

                                                              
            Dari  tabel 4.4 menunjukan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi yang kurang mempunyai anak penderita autis dengan status gizi tidak normal sebanyak 3 anak (13,6 %) dan ibu yang mempuyai pengetahuan gizi kurang dengan status gizi anak yang normal sebanyak 19 anak (86,4 %). Sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan yang baik dengan status gizi anak tidak normal sebanyak 6 anak (22,2 %) dan anak yang mempunyai status gizi  normal dengan  pengetahuan ibu yang baik sebanyak 21 anak ( 77,8 %).
            Hasil uji statistik diperoleh nilai hitung P= 0,48 > a(0,05) ini menunjukan tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis berdasarkan indeks BB/U.
  1. Hubungan pola makan anak dengan status gizi anak autis di Kota Bengkulu tahun 2011.
            Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan pola makan anak dengan status gizi anak autis berdasarkan indeks BB/U. Untuk itu dilakukan uji Chi-square. Adapun hasil analisanya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 4.3 Hubungan pola makan anak dengan status gizi anak autis di                                  Kota Bengkulu tahun 2011

Pola makan
Status Gizi
Total
p value
Tidak Normal
Normal
n
%
N
%
n
%

Tidak baik
8
18,2
36
81,4
44
100
1,000
Baik
1
20,0
4
80,0
5
100
Total
9
18,4
40
81,6
49
100

            Dari tabel 4.5 menunjukan  bahwa anak autis di Kota Bengkulu yang memiliki pola makan  tidak baik dengan status gizi tidak normal sebanyak 8 anak (18,2 %) dan yang mempunyai status gizi normal dengan pola makan yang tidak baik sebanyak 36 anak (81,4%). Sedangkan untuk anak autis di Kota Bengkulu  yang  mempunyai pola makan yang baik dengan status gizi tidak normal sebanyak 1 anak (20,0%) dan anak yang mempuyai pola makan yang baik dengan status gizi normal sebanyak 4 anak (80,0 %).
            Hasil uji statistik menggunakan uji chi-square diperoleh pvalue  P= 1,000 > a(0,05) ini menunjukan tidak ada hubungan signifikan antara pola makan anak autis dengan status gizi anak autis berdasarkan indeks BB/U.

4.3    Pembahasan
4.3.1   Analisa Univariat
4.3.1.1  Pengetahuan ibu tentang gizi
               Berdasarkan analisa univariat, diperoleh distribusi pengetahuan ibu tentang gizi yang mempunyai anak penderita autis Dikota Bengkulu tahun 2011,  sebanyak 27 (44,9%) orang ibu mempunyai pengetahuan yang baik sedangkan sebanyak 22 orang (55,1 %) ibu mempunyai pengetahuan kurang.
Pengetahuan gizi ibu pada pada penelitian ini meliputi pengetahuan tentang gizi dan pemberian makanan seperti gluten, kasein dan jamur yang tidak boleh dikonsumsi anak autis.Dari beberapa pertanyaan yang diberikan kepada ibu yang mempunyai anak penderita autis banyak yang tidak mengetahui apa yang di maksud dengan gluten dan kasein tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengetahui apa yang dikatakan gluten dan kasein, ibu tahu apa yang maksud dengan gluten dan kasein tetapi ibu tetap memberikan makanan tersebut kepada si anak karena si ibu takut anaknya tidak tercukupi gizinya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh MCandlles (2003), yang mengatakan bahwa  orang tua masih memberikan makanan yang mengandung gluten dan kasein karena tidak tega melihat anaknya menangis dan meminta dengan paksa.
4.3.1.2  Pola makan anak autis
     Berdasarkan analisis univariat, diperoleh distribusi pola makan pada anak autis di Kota Bengkulu tahun 2011, 44 anak ( 89.8%)  pola makan yang kurang dan sebanyak  5 anak (10,2%) pola makannya baik, hal ini dapat diartikan bahwa hampir seluruh dari responden memiliki pola makan yang kurang, ini terjadi karena ibu anak autis masih memberikan bahan makanan yang mengandung gluten dan kasein seperti tepung terigu, tempe, dan susu dimana bahan makanan tersebut jika di konsumsi oleh anak autis dapat mengakibatkan terganggunya pencernaan pada anak autis. Ibu memberikan bahan makanan tersebut bukan karena ketidaktahuan nya akan bahaya jika anak mereka mengkonsumsi makanan tersebut tetapi karena si ibu tidak tega melihat anaknya yang menangis dan meminta si ibu untuk membelikan/memberikan anak makanan yang mengandung gluten dan kasein contohnya makanan ringan yang mengandung gluten tersebut.
4.3.1.3  Status gizi anak autis
               Berdasarkan analisa univariat, diperoleh distribusi status gizi pada anak autis Dikota Bengkulu tahun 2011, status gizi anak autis sebanyak 40 anak (81,6%) memiliki status gizi normal sedangkan 9 anak (18,4%) memiliki status gizi tidak normal (gizi kurang dan gizi lebih). Adanya status gizi yang tidak normal tersebut karena status gizi dipengaruhi oleh beberapa factor salah satunya adalah penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi sebaliknya anak yang gizinya lebih di sebabkan karena anak mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak teratur.
               Pada status gizi ini yang diukur hanya berdasarkan BB/U,dari hasil pengukuran yang dilakukan dengan timbangan injak ternyata pada anak autis banyak yang memiliki status gizi lebih.
               Menurut McBride (2009), bagi penderita autis, gluten dan kasein dianggap sebagai racun karena tubuh penderita autis tidak menghasilkan enzim untuk mencerna kedua jenis protein ini. Akibatnya protein yang tercerna dengan baik akan diubah menjadi komponen kimia yang disebut opioid atau opiate. Opiaid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin (racun) dan mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas. Morfin layaknya seperti morfin yang terkandung dalam narkotika, membuat siapa yang mengkonsumsinya menjadi ketagihan maka hal seperti ini lah yang membuat status gizi anak pada anak autis dimana si anak menjadi ketagihan  meminum susu sehingga jika tidak diberikan  maka anak akan menangis, rewel dan si ibu tidak tega melihat anaknya menangis meminta susu sehingga si ibu memberikan makanan yang mengandung kasein tersebut. Si ibu tetap memberikan makanan yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi anak autis karena si ibu takut anaknya kekurangan gizi tetapi persepsi si ibu ternyata salah sehingga karena hal tersebut anak mereka menjadi anak yang memiliki Berat Badan yang lebih. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan ibu si anak bahwa anaknya mampu menghabiskan susu sebanyak 2 gelas/ hari dan pada saat makan nasi si anak diberi porsi lauknya sebanyak 2 porsi oleh ibunya.
4.3.2        Analisa Bivariat
4.3.2.1 Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis             berdasarkan indeks BB/U
         Berdasarkan hasil analisa univariat pengetahuan ibu tentang gizi di Kota Bengkulu dengan kategori baik yaitu  sebanyak 27 (44,9%) orang dan kategori kurang 22 (55,1%) orang. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p= 0,48 > a(0,05), ini menunjukan tidak ada hubungan signifikan  antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis di Kota Bengkulu  berdasarkan indeks BB/U.
         Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ada 2 yakni factor langsung dan factor tidak langsung. Factor langsung  yakni  factor dari adanya penyakit infeksi yang menyerang anak misalnya diare. Selain itu juga status gizi disebabkan karena factor tidak langsung seperti pola pengasuhan ibu, factor ekonomi, sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan.
         Pada hasil uji statistic mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosa nur Syafitri (2011) yang meneliti tentang “Hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizidengan status gizi balita di Kabupaten Ponogoro“ dengan hasil penelitiannya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang gizi denagn status gizi anak balita di Ponogoro. Hasil uji ini tidak adda hubungan ini disebabkan karena status gizi tidak selalu dipengaruhi oleh pengetahuan ibu banyak factor lain yang mempengaruhi status gizi misalnya seperti yang di kemukakan  (Soekirman, 2000) status gizi disebabkan karena adanya penyakit infeksi, ketahanan pangan, pola pengasuhan, sikap dan prilaku ibu dalam memberikan makanan, factor ekonomi serta pelayanan kesehatan.
 Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa banyak ibu yang pengetahuannya baik tetapi status gizi anaknya tidak normal hal ini terjadi karena pengetahuan yang ibu miliki tidak sejalan dengan sikap/prilaku nya. Misalnya pada waktu wawancara si ibu tahu bahwa anak autis tidak boleh mengkonsumsi gluten dan kasein tetapi si ibu tetap memberikan makanan tersebut karena ibu takut anaknya tidak menjadi anak yang sehat dan takut anaknya menjadi anak yang kurang gizi. Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Perilaku juga dapat dibedakan  menjadi dua, yaitu perilaku  tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah respon atau reaksi terhadap stimulus yang masih dalam bentuk perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap pada seseorang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : Seorang ibu tahu pentingnya makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk kebutuhan gizi keluarganya. Sedangkan prilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan dapat diamati oleh orang lain misalnya: seorang ibu yang selalu memasak makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.

4.3.2.2  Hubungan Pola Makan Anak Dengan Status Gizi Anak Autis
                              Berdasarkan hasil analisa bivariat pola makan anak dengan status gizi berdasarkan BB/U yang normal dengan kategori baik yaitu  sebanyak 4 orang (80,0%) dan status gizi tidak normal dengan  kategori tidak baik sebanyak 8 orang (18,2 %). Hasil uji chi-square diperoleh nilai p= 1,000 > a(0,05) , ini menunjukan tidak ada hubungan signifikan  antara pola makan dengan  status gizi anak autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSIJKO Soeprapto Kota Bengkulu tahun 2011 berdasarkan indeks BB/U.
Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang menyebabkan  reaksi alergi pada anak autis seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang maupun ikan. Selain itu konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Tajudin dan Mashabi, 2009).
Menurut Judarwanto (2009), pada anak autis mengalami kesulitan makan  penyebab umum  kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi  lebih dari 1 faktor. Pada penyandang Autis penyebab paling sering yang terjadi adalah gangguan nafsu makan dan gangguan proses makan.    Peristiwa kesulitan makan yang terjadi pada penyandang Autis biasanya berlangsung lama.
Berdasarkan analisa uji statistik yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola makan anak autis dengan status gizi anak autis hal ini disebabkan karena banyak faktor yang menyebakan status gizi pada anak autis, diantaranya faktor prilaku anak autis terhadap makanan yakni menurut (Newsroom Republika, 2010) pola makan anak autis juga dipengaruhi dari prilaku anak dalam  memilih-milih bahan makanan.
Pola makan anak autis dari hasil penelitian hampir semuanya memiliki  pola makan yang tidak baik sedangkan status gizi anak normal hal ini terjadi karena ibu memberikan anak mereka makanan yang seharusnya tidak boleh di konsumsi seperti gluten, kasein dan jamur yang bisa menyebabkan alergi dan intoleransi dan berbagai masalah pada anak autis, seperti sakit kepala, sakit perut, diare, mual, muntah, gangguan tidur, cengeng, hiperaktif, agresif, gampang marah, infeksi telinga, dan lain-lain (Syamsir, Elvira, 2010). Tetapi dari hasil penelitian yang dilakukan kebanyakan ibu juga memberikan makanan lain yang bergizi seperti nasi, daging ayam, telur, buah dan bahan makanan bergizi lainnya yang tidak mengandung gluten, kasein dan jamur sehingga status gizi anak masih dalam batas normal. Selain itu juga berdasarkan wawancara yang dilakukan ibu menjelaskan bahwa anak mereka jika mengkonsumsi makanan dari salah satu makanan yang mengandung gluten, kasein dan jamur tersebut anaknya tidak mengalami diare, sakit kepala dan penyakit lainnya yang dijelaskan Syamsir, Elvira hanya saja si anak tambah hiperaktif dan kadang- kadang menjadi rewel.

4.3.3        Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan pada penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Peneliti
Sampel yang diambil dalam penelitian ini jumlahnya sedikit.
2. Responden
a. Adanya keterbatasan daya ingat responden sehingga responden lupa atau
ragu dalam menjawab pertanyaan yang telah diberikan.
b. Kemungkinan responden tidak jujur pada saat pertanyaan diberikan.
3. Instrumen/alat.
a. Data berat badan
Kemungkinan kesalahan pada pengambilan data berat badan yaitu kurangnya ketelitian dalam membaca angka pada timbangan injak disebabkan karena responden tidak dapat berdiri dengan tenang karena prilaku responden yang hiperaktif.
b. Kuesioner
Kemungkinan kuesioner yang dibuat terlalu sulit sehingga sebagian besar pertanyaan sulit untuk dijawab dengan benar oleh responden
4. Indeks status gizi
    Pada penelitian ini menentukan status gizi anak autis hanya menggunakan satu indeks yakni indeks BB/U. pada penelitian ini tidak menggunakan indeks TB/U dan BB/TB karena sulit untuk mengukur anak autis dikarenakan anak  yang hiperaktif.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
            Berdasarkan  hasil penelitian yang telah dilakukan pada anak autis di Kota Bengkulu dapat disimpulakan bahwa :
·           Hampir sebagian dari ibu anak autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSIJKO Soeprapto Kota Bengkulu memiliki pengetahuan gizi yang baik yaitu sebanyak 55,1 %.
·           Hampir seluruh dari anak autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSIJKO Soeprapto Kota Bengkulu pola makannya tidak baik yaitu sebanyak 89,8 %.
·           Hampir seluruh dari Anak autis di Yayasan Mutiara Bunda, SDN 3 dan RSIJKO Soeprapto Kota Bengkulu yang mempunyai status gizi normal yaitu sebanyak 81,6%.
·           Tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi anak autis berdasarkan BB/U.
·           Tidak ada hubungan antara pola makan anak dengan status gizi anak autis berdasarkan indeks BB/U.



5.2 SARAN
1.      Bagi Akademik
Bagi Akademik Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan ibu tentang gizi dan pola makan anak dengan status gizi anak  autis.

2.      Bagi Institusi tempat penelitian
            Agar pihak yayasan dan sekolah mengetahui bagaimana pentingnya gizi pada anak penyandang autis sehingga pihak sekolah dapat mengawasi anak autis agar tidak makan sembarangan dan jajan  makanan di luar sekolah yang mengandung gluten, kasein dan yeast serta pihak RS dapat memberikan konsultasi gizi pada orang tua anak autis tentang nutrisi bagi anak autis.
3.      Bagi peneliti lain
Bagi peneliti lain kiranya dapat mengembangkan penelitian lanjut tentang pentingnya nutrisi bagi perkembangan anak autis dan hubungan pola makan anak autis dengan pengetahuan ibu tentang gizi.






DAFTAR PUSTAKA


Agung,dkk.2010. Manfaat Diet Bagi Anak Autis. Diakses Tanggal 24 juni 2010.
Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu gizi. Gramedia Pustaka Utama, jakarta
Arikunto dalam KTI Handayani, wispa. 2009. Hubungan Status Gizi Ekonomi dan                 Pengetahuan Dengan tindakan Pencegahan DBD Pada Ibu Yang memiliki                 Balita Dipuskesmas Jalan Gedang Kota Bengkulu Tahun 2009. KTI                 Poltekkes, Bengkulu

BPS. 2009. Data Statistik Indo-Pola Konsumsi Rumah Tangga. http://www Data Statistik-Indonesia. Com. Diakses tanggal 22 september 2009
Budhiman. 2010.  Autisme dan Gangguan pencernaan. http://autisme.or.id. Diakses pada tahun 3 November 2010
Corliss, Rachel. 2008. Jurnal Parental Persepsi Status Gizi. Lexington, Kentucky
Departemen Kesehatan RI.2005.Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan   Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta.

Dewo,S. 2008. Anak Autis. http://www.dongengkakrico.diakses tanggal 8 juni 2008

Dimarta, Apen. 2010. Hubungan Pola Pemberian Makan Dengan Status Gizi Bayi Di Puskesmas Kota Manna Kabupaten Bengkulu Selatan. Skripsi FK UMB, Bengkulu

Emilia, 2006. penanganan anak autis melalui terapi gizi dan pendidikan.jurnal pendidikan dan kebudayaan.

Emmet, Pauline. 2010. Anak autis alami gangguan makan. http://www.mediaindonesia.com. diakses tanggal 21 juli 2010

dalam jurnal Abbas. 2006. Pemanfaatan dekstrin dari pati garut sebagai bahan dasar makanan bagi penyandang autis, Yogyakarta.

Furyhttp://drlizagizi.blogspot.com. Diakses pada desember 2007 jam07.56

Gatra, Wahyu .2010. hubungan asupan zat gizi makro terhadap status gizi anak autis. KTI Poltekkes, Bengkulu

Hadiyanto, Yanwar. (2004). Autisme. Diakses  www.autism.society org.2002 kamis tanggal 09 Juni 2005

Judarwanto, W. 2009. Pencegahan Autis Pada Anak.. http:// putrakembara.org/archi                    ves 10/00000056, shtml. diakses tanggal 04 September 2009.

Khumaidi,M. 1998. Gizi masyarakat. Penerbit PT. bpk Gunung Mulia: Bogor.

Maryam/ leiwakabessy. 2008. Pola Makan. http://www. Pewantakabari Indonesia. Blogspot. Com, tanggal 29 oktober 2008.

Mcginnis dalam jurnal Abbas. 2006. Pemanfaatan dekstrin dari pati garut sebagai bahan dasar makanan bagi penyandang autis, Yogyakarta.

Mcandlles. 2003. Chidren with Starving Brains.PT.Grasindo : jakarta

Natasya, CMc dalam Psycho. 2009. Pengelolaan Makanan Bagi Penderita Gangguan Prilaku. Diakses pada 26 mei 2009.

Newsline. 2007. Autis. http://www.snda.org.sg/files/Newsline_Apr07_Autism.pdf  diakses pada Januari-april 2007

Newsroom,R. 2010.Menyelaraskan Pola Makan dan Tipe Prilaku Anak Autis.  http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/216--menyelaraskan-pola-makan-a-tipe-perilaku-anak-autis?format=pdf. Tanggal  5 November 2010

Newsroom,R.cermat atur pola makan autis. Diakses pada tanggal 13 november 2009.

Notoatmadjo,S. 2007. Kesehatan Masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: PT Rineka Cipta

Nugraheni , Achadi . 2010.forum guru indonesia. diakses  http://www.forumguru-indonesia.co.cc, tanggal 7 juni 2010  

Purwanto. 2008. Metodelogi Penelitian Kuantitatif untuk fisiologi dan pendidikan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rizqi Auliana, 2001 dalam Hudha, 2006. Hubungan Antara Pola Makan Dengan Obesitas Pada Remaja Kelas II SMP Theresiana IYayasan Bernadus Semarang. Skripsi Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Syarief, Fatimah StiP . 2008. Penanganan tepat pada anak autis. http://www.childcare-center.com/artikel/126-penanganan-tepat-pada-anak-autisme.html.diakses tanggal 30 April 2008

Soetardjo. 2007. Terapi Makanan Anak Dengan Gangguan Autism. PT.penerbitan Sarana Bobo Anggota IKAPI, Jakarta

Tajudin, R (2009). Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Pola Makan Anak Autis. jurnal

Wijayakusuma,H.2004. Psikoterapi Anak Autisma.Pustaka Populer Obor, Jakarta

Wu. Lijie. 2010. A preliminary study on nutritional status and intake Chinese children with autism. Jurnal, China